Temuan Guci Diduga Zaman Dinasti Ming Perkuat Narasi Bawean dalam Sejarah Maritim Nusantara

“Temuan Guci Gerabah dari Bawah Air Pulau Bawean sebagai Bukti Penting untuk Memperkuat Narasi Bawean dalam Sejarah Maritim Nusantara”

Nia Naelul Hasanah Ridwan, S.S., M.Soc.Sc

GRESIK,1minute.id – Nia Naelul Hasanah Ridwan angkat bicara terkait penemuan guci diduga zaman Dinasti Ming di Perairan Bawean. Peneliti Arkeologi Maritim KKP, dan Kepala Loka Riset Sumber Daya dan Kerentana Pesisir, Pusat Riset Kelautan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan itu menyatakan penemuan tinggalan arkeologis berupa guci-guci gerabah (Earthenware Storage Jar) atau yang disebut juga sebagai “Martaban” dari bawah air Pulau Bawean oleh nelayan Pulau Bawean pada Juni 2021 merupakan bukti fisik arkeologis yang memperkuat narasi tentang peran penting Pulau Bawean di Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur dalam sejarah maritim Nusantara.

Guci-guci gerabah atau tembikar yang berglasir kuning kecoklatan, mempunyai pegangan (loop handles) di bagian bahu, dan mempunyai motif dekorasi berupa naga tersebut kemungkinan berasal dari masa Dinasti Ming (1368-1644 M) yang berkuasa setelah masa keruntuhan Dinasti Yuan (1271-1368). Guci gerabah dengan bentuk dan model seperti yang ditemukan di perairan Pulau Bawean ini umum diproduksi di sejumlah Kiln di wilayah Southern China seperti Guangdong dan masih dapat ditemukan hingga masa Dinasti Qing (1644–1912 M).

Guci Martaban umum digunakan dalam transportasi barang dalam perdagangan dengan China, negara-negara di Asia Tenggara seperti Thailand, Vietnam, Burma, Kamboja dan kerajaan-kerajaan yang berada di Nusantara.

Guci-guci tersebut dapat menjadi barang komoditas untuk diperdagangkan, sebagai sebagai wahana untuk menyimpan barang komoditas lain seperti biji-bijian, teh, piring dan mangkok porselen, dan juga sebagai alat untuk menyimpan bahan makanan bahan makanan seperti saus, tepung, dan juga air. 

Guci tembikar banyak ditemukan di situs-situs kapal karam di Indonesia yang berada di Jalur Rempah dan Sutra Laut (Maritime Silk and Spice Route) yang menghubungkan Dunia Timur dengan Dunia Barat dan membentang dari Asia Timur (China, Jepang) hingga ke Asia Barat, Afrika dan Eropa dengan melewati Asia Tenggara dan Asia Selatan. 

PETA perairan Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur

Perairan Nusantara beserta pulau-pulaunya termasuk Pulau Bawean memegang peranan sangat penting dalam sejarah pelayaran dan perdagangan internasional sejak dulu kala karena Indonesia berada di jalur utama dan juga persimpangan Maritime Silk and Spice Route sehingga banyak kapal-kapal asing dari berbagai negara yang datang dan melewati perairan Nusantara. 

Pelayaran dan perdagangan dunia juga melibatkan masyarakat di pulau-pulau di wilayah Nusantara baik masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil maupun penduduk di pedalaman sebagai penghasil komoditas seperti rempah dari Indonesia Timur berupa pala dan cengkeh dari Ternate, Tidore, Banda, lada dari Banten dan Lampung, barang tambang seperti emas dan perak dari Sumatera, dan komoditas hasil bumi lainnya.

Banyak pulau-pulau di Indonesia juga menjadi tempat singgah kapal-kapal yang berlayar untuk melakukan tukar menukar atau jual beli, mengisi persediaan air, atau menunggu angin yang cocok untuk berlayar kembali.

Penemuan guci dari China dari bawah air Pulau Bawean dari masa sekitar Dinasti Ming atau Qing tersebut dan banyaknya tinggalan arkeologis lain di pulau Bawean seperti keramik dari masa Dinasti Yuan, keramik Asia Tenggara dan Eropa, koin-koin dari China maupun masa VOC dan pemerintahan kolonial Belanda, meriam-meriam kuno, adanya pelabuhan kuno Bawean dan sarana pendukungnya seperti di Desa Sawahmulya dan Sangkapura, adanya nisan-nisan kuno, arca Budha dari perunggu, stupika, penemuan situs kapal karam di Gosong Gili dan di dekat Pulau Nusa ini, serta adanya sejumlah toponomi (nama unsur geografis) seperti Pulau Cina dan Tanjung Cina menunjukkan bahwa Pulau Bawean mempunyai perjalanan sejarah cukup panjang dan latar historis yang sangat menarik yang berhubungan dengan berbagai bangsa asing sejak zaman dahulu. 

MARTABAN: Guci diduga zaman Dinasti Ming yang terjaring oleh nelayan yang menggunakan alat penangkap ikan cantrang di perairan Bawean (foto: tangkapan layar konservasi Bawean for 1minute.id)

Pulau Bawean juga dihuni oleh masyarakat dari berbagai tempat di Nusantara seperti Jawa, Madura, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain, memperlihatkan juga bahwa sejak dahulu kala Bawean telah dikunjungi dan berinteraksi dengan berbagai orang dari berbagai pulau di Nusantara sendiri maupun dari negara lain.

Posisi geografis Bawean juga sangat strategis sebagai titik yang menghubungkan wilayah barat Indonesia dari Selat Malaka, Laut China Selatan, ke Selat Sunda, dan Laut Jawa dengan bagian tengah Indonesia kemudian menuju ke arah atas ke Selat Makassar yang mengarah ke Filipina, China, Jepang dan ke arah timur yaitu ke wilayah-wilayah penghasil rempah eksotis di Nusantara. 

Dalam sejarah Pulau Bawean, disebutkan bahwa sejumlah pelaut dari Kerajaan Majapahit menemukan Pulau Bawean sekitar tahun 1350 yang merupakan masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majaphit. Para pelaut Majaphit tersebut terdampar di Bawean saat terjebak badai di Laut Jawa. 

Hal tersebut membuktikan bahwa Pulau Bawean sangat penting bagi kapal-kapal yang berlayar di Laut Jawa yang membutuhkan tempat perlindungan di saat kondisi cuaca di laut berbahaya untuk pelayaran. Akan tetapi, kondisi perairan Bawean di beberapa lokasi juga cukup berbahaya karena banyak terdapat beting karang dengan kedalaman yang dangkal yang dapat membahayakan kapal yang berlayar sehingga tidak heran apabila ditemukan bangkai kapal karam di Gosong Gili dan area sekitar Pulau Nusa.

Latar historis menyebutkan bahwa Pulau Bawean pernah dikunjungi oleh armada yang membawa rombongan puteri Kerajaan Champa di Kamboja yang diyakini sebagai ibu dari Sunan Ampel. Puteri tersebut kemudian meninggal di Pulau Bawean dan saat ini makamnya terletak di Tanjung Putri, Desa Kumalasa. 

Sejarah terdamparnya pelaut dari Majapahit, cerita mengenai puteri dari Champa, dan adanya temuan keramik dari masa Dinasti Yuan yang berkuasa di tahun 1271-1368 serta temuan guci bawah air dari masa Dinasti Ming menunjukkan bahwa Bawean pernah menjadi titik yang penting yang terkait dengan berbagai kerajaan besar di Asia Tenggara yaitu Champa dan Majapahit, dan juga kekaisaran China dari Yuan Mongol dan Dinasti Ming.

Guci-guci tembikar dari bawah air Bawean yang merupakan Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) dan keberadaan situs kapal karam di Bawean perlu dilindungi, dilestarikan dan dapat dikembangkan sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Perlindungan Cagar Budaya, Undang-Undang Kelautan Nomor 32 tahun 2014, dan UU Nomor 1 tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 

Situs bawah air temat ditemukannya guci-guci tembikar perlu dikaji secara ilmiah untuk diketahui secara pasti kondisinya saat ini baik kondisi situs, kondisi BMKT, dan kondisi ekosistem serta kondisi fisik lingkungannya. Apabila kondisi situs masih baik dengan temuan BMKT di dalamnya, maka situs dapat dimanfaatkan secara lestari dan berkelanjutan dengan menjadikannya sebagai lokasi wisata selam minat khusus yaitu shipwreck diving yang tentu saja harus sejalan dengan upaya pelindungan dan pelestariannya. 

Keterlibatan masyarakat dan pemerintah daerah secara aktif di Bawean, Kabupaten Gresik, maupun Pemprov Jawa Timur sangat diperlukan dalam upaya pelindungan, pelestarian dan pengembangannya ke depan. 

Sosialisasi kepada masyarakat nelayan dan masyarakat Bawean umumnya perlu dilakukan agar masyarakat mengetahui bahwa artefak dari bawah air perlu dilindungi dan tidak boleh dijarah karena dapat berimplikasi terhadap masalah hukum sesuai dengan legislasi nasional Indonesia. 

Pemerintah daerah juga diharapkan untuk segera memberikan perhatian terhadap temuan bawah air ini dengan menggandeng pemerintah pusat dikarenakan peninggalan dari laut di Bawean sangat penting sebagai bukti dan saksi sejarah pentingnya Pulau Bawean di Jalur Rempah dan Sutera Maritim yang sangat signifikan untuk memperkuat sejarah maritim Nusantara. 

Penulis : 

Peneliti Arkeologi Maritim KKP, dan Kepala Loka Riset Sumber Daya dan Kerentana Pesisir, Pusat Riset Kelautan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan.