Berkebaya, Perempuan Pegiat Lingkungan tebar Kebaikan Selamatkan Lingkungan

GRESIK,1minute.id – Sejumlah perempuan berkebaya nyebur ke sebuah telaga.  Perempuan pegiat lingkungan kemudian menuangkan  beberapa botol cairan di telaga di kawasan Kebomas itu.

Diantara emak-emak yang getol berupaya menyelamatkan lingkungan itu adalah Siti Fitriah. Ia adalah ketua asosiasi bank sampah Gresik (Asbag). 

Menurut Siti Fitriah, cairan yang dituangkan ke telaga itu adalah cairan alami. Cair serbaguna hasil fermentasi dari sisa buah atau sayuran kemudian dicampur gula aren dan air menghasilkan O3.

“Untuk membuatnya cairan fermentasi itu minimal butuh waktu 90 hari,”kata Siti Fitria pada Kamis, 22 April 2021. Cairan alami fermentasi itu biasa di sebut ecoenzim. Ecoenzim ini memiliki banyak fungsi. Bisa untuk pembersih alami, sabun cair alami hingga bahan kosmetik kecantikan alami.

“Fungsinya itu luar biasa banyak sekali. Pembersih alami sabun cair,  pembersih udara alami, pembersih rumah tangga alami dan hand sanitizer,”terang Fitri.

Cairan ecoenzim itu ketika dituangkan dalam telaga yang tidak mengalir, maka akan ada perbaikan ekosistem atau perbaikan biota air disitu.

“Saya tuang ke danau kemarin itu ph-nya rendah kali 2,60 sampai 2,90 itu berarti pH yang seperti itu cocok untuk perawatan atau di manfaat medisnya untuk mengobati luka detox dan sebagainya mangkanya saya juga menyimpan kalau itu enzim sangat ramah lingkungan,” terangnya.

Mengapa ia dan kaum hawa lainnya membuatekoenzim, sebab 70 persen sampah yang terbuang di tempat pembuangan akhir (TPA) Ngipik, di Kelurahan Ngipik, Kabupaten Gresik adalah sampah organik.

“Dengan membuat ecoenzim ini kita bisa mengurangi beban di TPA. Dengan memproduksi ekoenzim berarti kita telah membantu mengelola banyak daripada sampah non-organik,”katanya.

Ecoenzim ditemukan doktor Rosukon Poompanvong. Pada 2003, doktor dari Thailand ini menerima penghargaan dari FAO (lembaga PBB yang mengurus soal pangan–red).  Ecoenzim ini memiliki manfaat yang berlipat ganda.

Dengan memanfaatkan sampah organik sebagai bahan bakunya, kemudian dicampur dengan gula aren dan air, proses fermentasinya menghasilkan gas O3 dan hasil akhirnya adalah cairan pembersih serta pupuk yang ramah lingkungan.

Sejak berhasil dalam penelitiannya, Dr. Rosukon dengan arif mempersembahkan penemuan ini bagi masyarakat luas, tanpa meminta royalti apa pun. Pengetahuan ini bersikap terbuka untuk siapa saja, demi kepentingan lingkungan.

Masyarakat Malaysia, Australia, Taiwan, hingga Amerika Serikat telah membuat ekoenzim dari sampah dapur mereka sejak beberapa tahun lalu. Di Indonesia, tren ini baru dimulai beberapa tahun belakangan. (yad)